Dengan mengacu pada Greenship Ratting Tools maka dapat ditarik kesimpulan bahwa bangunan yang green bukan sekedar menambah area hijau tetapi merencanakan dan merancang keseluruhan aspek yang berkaitan dengan bangunan tersebut menjadi faktor pendukung (holistik) terciptanya green building yang berkelanjutan (sustain). Berikut ini merupakan penerapan beberapa bangunan green architecture di Indonesia.
1. Menara BCA, Thamrin Jakarta
Menara BCA di kawasan Mal Grand Indonesia, Jakarta Pusat ini adalah
gedung pertama di Indonesia yang meraih sertifikat GREENSHIP EB
Platinum, alias gedung ramah lingkungan berkategori paling prestisius.
Sertifikat ini diberikan tahun 2012 oleh Green Building Council
indonesia (GBCI), sebuah lembaga sertifikasi gedung ramah lingkungan
yang pertama di Indonesia.
Melalui proses sertifikasi dinyatakan gedung yang selesai dibangun
tahun 2007 ini, mampu menghemat konsumsi energi listrik sebesar 35% dari
pemakaian pada gedung sejenis, atau setara penurunan emisi gas karbon
dioksida (CO2) sebesar 6.360 ton per tahun. Hampir semua lampunya
memakai LED-light emitting diode, yang mampu menghemat listrik hingga
70% dibandingkan lampu lain berdaya sama, dan memasang lampu tabung T5
yang dilengkapi sensor cahaya untuk mengukur tingkat pencahayaan saat
ruangan gelap atau terang. Memakai lampu hemat energi juga meringankan
kerja penyejuk udara atau AC, karena suhu ruangan tidak bertambah dari
panas cahaya lampu.
Penyejuk ruangan Menara BCA diatur pada suhu 25°Celcius, atau lebih
tinggi dua derajat dibandingkan kebanyakan gedung lain di Jakarta,
tetapi tetap nyaman. Kuncinya adalah pemakaian kaca ganda pada jendela
untuk mengurangi kehilangan suhu dan mempertahankannya lebih lama di
dalam ruangan. Kaca selimut gedung memakai teknologi insulated glazing
atau biasa juga disebut double glazing, yang diisi udara atau gas di
antara lapisannya untuk meneruskan panas dari luar ke bagian lain gedung
dimana panas itu ingin dilepaskan, tetapi tidak meneruskannya ke dalam
ruangan. Elevator pintar yang dipasang cukup sekali menekan tombolnya,
maka pengunjung gedung akan ditunjukkan elevator ke lantai yang dituju
dengan lebih sedikit pemberhentian. Semakin sedikit perhentian, berarti
operasi elevator itu semakin hemat energi.
2. Hotel Borobudur, Lapangan Banten Jakarta
Hotel Borobudur merupakan salah satu dari sekian banyak hotel bintang lima di Jakarta tetapi menjadi hotel berkelas bukan berarti menjadikan semakin besar energi yang dibutuhkan untuk operasional hotel mewah tersebut. Hotel Borobudur meraih penghargaan National Green Hotel Award 2013 dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Setelah itu pada 2014, hotel ini juga memenangkan penghargaan ASEAN Green Hotel Awards 2014-2016.
Hotel Borobudur memiliki 9,3 hektare area hijau, maka tak heran jika hotel mewah ini dinobatkan sebagai salah satu hotel “terhijau” se-Asia Tenggara. Pengolahan air yang baik seperti limbah air tidak mengalir ke pembuangan begitu saja, melainkan digunakan untuk menyiram tanaman dan flushing toilet dan penggunaan lampu LED semakin menghemat energi konsumsi operasional hotel mewah ini.
3. Gedung Kementerian Pekerjaan Umum, Pattimura Jakarta
Gedung baru milik Kemen PU mengkonsep green building telah melakukan efisiensi operasional gedung mencakup penghematan dari berbagai sisi. Pemakaian listrik, air, dan sisi lainnya yang mana jauh lebih hemat dibanding gedung biasa. Gedung baru di Kementerian PU sendiri bisa menghemat listrik hingga 44%, juga menghemat air hingga 81%.
Selain gedung-gedung fenomenal peraih award green building diatas sebenarnya penerapan green arsitektur di Indonesia sendiri sudah dilakukan cukup lama melui proses perilaku, kebiasaan, adat-istiadat dan lingkungan sekitarnya atau yang lebih akrab dikenal dengan arsitektur venakular.
Definisi arsitektur venakular adalah arsitektur rakyat yang memiliki nilai ekologis, arsitektonis, dan alami karena mengacu pada kondisi, potensi, iklim, budaya, masyarakat dan lingkungannya. (Mario Salvadori/Ruskin - 1974:12 )
Kebudayaan aseli Indonesia sendiri telah beralkulturasi dengan beberapa fase kedatangan bangsa India (Hindu-Budha), fase kedatangan Arab (Islam) dan fase modern (Eropa-Amerika). Sehingga menghasilkan tampilan rupa bangunan dan tatanan ruangnya menjadi beraneka ragam berbaur dengan budaya setempat.
Ciri-ciri arsitektur venakular :
1. Menggunakan bahan lokal.
2. Menggunakan pengetahuan lokal.
3. Menggunakan teknik sederhana.
4. Suatu produk dari masyarakat lokal.
5. Suatu produk yang berkaitan dengan budaya.
Penerapan arsitektur venakular dapat dilihat pada rumah gadang merupakan rumah adat suku Minangkabau di Sumatera Barat. Tiang-tiang panjang dengan model besar menjulang ke atas secara simbolis kultural mempunyai makna adat tersendiri sedangkan secara arsitektural tiang-tiang panjang yang dihubungkan dengan pasak tersebut merupakan struktur penguat bangunan agar tidak roboh saat diguncang gempa mengingat tanah Minangkabau berada di area pegunungan Bukit Barisan.
Upaya penerapan green architecture di Indonesia juga dapat dijumpai dalam penanganan arsitektural berkaitan dengaan iklim tropis kering Indonesia. Menurut DR. Ir. RM. Sugiyatmo,kondisi yang berpengaruh dalam perancangan bangunan pada iklim tropis lembab adalah :
3. Penerangan Alami pada Siang Hari
Di Indonesia seharusnya dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya cahaya ini untuk penerangan siang hari di dalam bangunan. Tetapi untuk maksud ini, cahaya matahari langsung tidak dikehendaki masuk ke dalam bangunan karena akan menimbulkan pemanasan dan penyilauan, kecuali sinar matahari pada pagi hari.
Berikut ini strategi yang harus diperhatikan saat perancangan pembangunan untuk strategi perancangan bangunan pada iklim tropis kering menurut DR. Ir. RM. Sugiyatmo yaitu :
Hotel Borobudur merupakan salah satu dari sekian banyak hotel bintang lima di Jakarta tetapi menjadi hotel berkelas bukan berarti menjadikan semakin besar energi yang dibutuhkan untuk operasional hotel mewah tersebut. Hotel Borobudur meraih penghargaan National Green Hotel Award 2013 dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Setelah itu pada 2014, hotel ini juga memenangkan penghargaan ASEAN Green Hotel Awards 2014-2016.
Hotel Borobudur memiliki 9,3 hektare area hijau, maka tak heran jika hotel mewah ini dinobatkan sebagai salah satu hotel “terhijau” se-Asia Tenggara. Pengolahan air yang baik seperti limbah air tidak mengalir ke pembuangan begitu saja, melainkan digunakan untuk menyiram tanaman dan flushing toilet dan penggunaan lampu LED semakin menghemat energi konsumsi operasional hotel mewah ini.
3. Gedung Kementerian Pekerjaan Umum, Pattimura Jakarta
Gedung baru milik Kemen PU mengkonsep green building telah melakukan efisiensi operasional gedung mencakup penghematan dari berbagai sisi. Pemakaian listrik, air, dan sisi lainnya yang mana jauh lebih hemat dibanding gedung biasa. Gedung baru di Kementerian PU sendiri bisa menghemat listrik hingga 44%, juga menghemat air hingga 81%.
Selain gedung-gedung fenomenal peraih award green building diatas sebenarnya penerapan green arsitektur di Indonesia sendiri sudah dilakukan cukup lama melui proses perilaku, kebiasaan, adat-istiadat dan lingkungan sekitarnya atau yang lebih akrab dikenal dengan arsitektur venakular.
Definisi arsitektur venakular adalah arsitektur rakyat yang memiliki nilai ekologis, arsitektonis, dan alami karena mengacu pada kondisi, potensi, iklim, budaya, masyarakat dan lingkungannya. (Mario Salvadori/Ruskin - 1974:12 )
Kebudayaan aseli Indonesia sendiri telah beralkulturasi dengan beberapa fase kedatangan bangsa India (Hindu-Budha), fase kedatangan Arab (Islam) dan fase modern (Eropa-Amerika). Sehingga menghasilkan tampilan rupa bangunan dan tatanan ruangnya menjadi beraneka ragam berbaur dengan budaya setempat.
Ciri-ciri arsitektur venakular :
1. Menggunakan bahan lokal.
2. Menggunakan pengetahuan lokal.
3. Menggunakan teknik sederhana.
4. Suatu produk dari masyarakat lokal.
5. Suatu produk yang berkaitan dengan budaya.
Penerapan arsitektur venakular dapat dilihat pada rumah gadang merupakan rumah adat suku Minangkabau di Sumatera Barat. Tiang-tiang panjang dengan model besar menjulang ke atas secara simbolis kultural mempunyai makna adat tersendiri sedangkan secara arsitektural tiang-tiang panjang yang dihubungkan dengan pasak tersebut merupakan struktur penguat bangunan agar tidak roboh saat diguncang gempa mengingat tanah Minangkabau berada di area pegunungan Bukit Barisan.
Upaya penerapan green architecture di Indonesia juga dapat dijumpai dalam penanganan arsitektural berkaitan dengaan iklim tropis kering Indonesia. Menurut DR. Ir. RM. Sugiyatmo,kondisi yang berpengaruh dalam perancangan bangunan pada iklim tropis lembab adalah :
1. Kenyamanan Thermal
Kenyamanan thermal adalah suatu kondisi thermal yang dirasakan
oleh manusia bukan oleh benda, binatang, dan arsitektur, tetapi
dikondisikan oleh lingkungan dan benda-benda di sekitar arsitekturnya.
- Kriteria dan Prinsip Kenyamanan Thermal
Standar internasional mengenai kenyamanan thermal ( suhu) “ISO 7730 : 1994”
”menyatakan bahwa sensasi thermal yang di alami manusia merupakan
fungsi dari 4 faktor iklim yaitu: suhu udara, radiasi, kelembaban udara,
kecepatan angin, serta faktor-faktor individu yang berkaitan dengan
laju metabolisme tubuh, serta pakaian yang di gunakan.”
Untuk mencapai kenyamanan thermal haruslah di mulai dari Kualitas udara di sekitar kita yang harus memiliki kriteria :
- Udara di sekitar rumah tinggal tidak mengandung pencemaran yang berasal dari asap sisa pembakaran sampah, BBM, sampah industru, debu dan sebagainya.
- Udara tidak berbau, terutama bau badan dan bau dari asap rokok yang merupakan masalah tersendiri karena mengandung berbagai cemaran kimiawi walaupun dalam variable proporsi yang sedikit.
Prinsip dari pada kenyamanan thermal sendiri adalah, teciptanya
keseimbangan antara suhu tubuh manusia dengan suhu tubuh sekitarnya.
2. Sirkulasi udara
Prinsip upaya perancangan bangunan pada daerah
beriklim tropis yang benar harus mempertimbangkan pemanfaatan sebanyak
mungkin kondisi alam, diantaranya adalah pengupayaan pemikiran
penghawaan alami untuk memenuhi kebutuhan udara dan kelancaran sirkulasi
udara pada bangunan tersebut.
Di Indonesia seharusnya dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya cahaya ini untuk penerangan siang hari di dalam bangunan. Tetapi untuk maksud ini, cahaya matahari langsung tidak dikehendaki masuk ke dalam bangunan karena akan menimbulkan pemanasan dan penyilauan, kecuali sinar matahari pada pagi hari.
4. Radiasi Panas Sinar Matahari.
Disamping memancarkan sinar/cahaya, matahari juga akan
mengeluarkan panas. Panas inilah yang harus ditanggulangi dalam upaya
perancangan bangunan, setidak-tidaknya dikurangi sehingga suhu ruangan
bisa sesuai dengan yang diharapkan.
Beberapa pemikiran perancangan ruang sebagai upaya untuk mengurangi
efek panas yang disebabkan oleh radiasi panas sinar matahari adalah
berdasarkan suatu prinsip memasang lubang cahaya didaerah
bayang-bayang/bias cahaya matahari.
Berikut ini strategi yang harus diperhatikan saat perancangan pembangunan untuk strategi perancangan bangunan pada iklim tropis kering menurut DR. Ir. RM. Sugiyatmo yaitu :
- Mempergunakan bahan-bahan dengan time lag tinggi agar panas yang diterima siang hari dapat menghangatkan ruangan di malam hari. Konduktivitas rendah agar panas siang hari tidak langsung masuk ke dalam bangunan. Berat jenis bahan tinggi, dimensi tebal agar kapasitas menyimpan panas tinggi.
- Bukaan-bukaan dinding kecil untuk mencegah radiasi sinar langsung dan angin atau debu kering masuk sehingga mempertahankan kelembaban.
- Memperkecil bidang tangkapan sinar matahari dengan atap-atap datar dan rumah-rumah kecil berdekatan satu sama lain saling membayangi, jalan-jalan sempit selalu terbayang. Atap datar juga untuk menghindari angin kencang, karena curah hujan rendah.
- Menambah kelembaban ruang dalam dengan air mancur yang dibawa angin sejuk.
- Pola pemukiman rapat dan jalan yang berbelok untuk memotong arus angin
- Bangunan efisien bila rendah, masif dan padat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar